Selasa, 08 September 2015

PASTORAL



TAHAP PERTENGAHAN DALAM PERCAKAN PASTORAL
(BAGAIMANA SIKAP SEORANG PASTOR?)

1)      . Empati
Empati adalah salah satu unsur yang erat berhubungan pengertian sebagai sikap dasar dari pastor. Dengan empati, kehangatan dalam relasi-percakapan, kasih sayangdan perhatian terhadap orang yang digembalakan membuat “pengertian” lebih daripada suatu ketrampilan. Pastor harus mengidentifikasi diri dengan klien. Tetapi identifikasi empatis yang dimaksudkan disini tidak sama dengan identifikasi emosional. Dalam identifikasi empatis pastor memelihara jarak. Hal itu tidaklah menjauhkannya dari orang yang ia gembalakan. Ia mendengarkan kata-katanya, ia juga “mendengarkan’ perasaan-perasaan atau emosi-emosinya. Ia mengerti semua ungkapan itu tetapi ia tidak mengambil alih perasaan-perasaan atau emosi-emosinya. Ia tidak turut menangis, kalau orang itu menangis. Ia tidak boleh memberi dirinya dihanyutkan dalam perasaan-perasaanatau emosi orang yang ia gembalakan, sebab hanya dengan jalan itu ia dapat membantunya. 
2)      . Mendengarkan
Mendengarkan adalah terutama suatu aktivitas, yang lahir dari pengertian sebagai sikap dasar dari pastor. Dengan mendengarkan, pastor memperlihatkan Bahwa ia benar – benar mengarahkan dirinya kepada orang yang ia gembalakan dan benar – benar memberikan perhatian kepadanya. Bukan hanya perkataannya diperhatikan, tetapi juga sikapnya, roman mukanya, cara berbicara. Sikap tenang atau tegang menyatakan diri dalam beberapa hal kecil. Perhatikanlah tangan seseorang, adakah tangan ini tenang terlipat, ataukah bergerak-gerak saja? Perasaan apa yang dicerminkan dalam roman mukanya? Semua hal itu harus diperhatikan oleh gembala, supaya ia mendapat kesan yang benar tentang keadaan anggota jemaat. Mendengarkan itu bukan hanya mencari tahu, apa yang dalam percakapan hendak dikatakan oleh partner, tetapi juga mencari tahu, apa yang hendak disembunyikan oleh partner percakapan. Cara mencari tahu bukanlah hanya melalui pertanyaan-pertanyaan yang mungkin meragukan partner, tetapi juga melalui penafsiran atau pemahaman cara seorang partner dalam percakapan, bercakap-cakap atau bersikap.
Menurut abineno, mendengarkan bukan hanya sekedar mendengarkan apa yang diucapkan dengan kata-kata, tetapi juga mendengarkan apa yang tidak diucapkan dengan kata-kata (mendengarkan perasaan-perasaannya) dan berusaha untuk mengerti apa yang maksudkan dan merasakan apa yang ia rasakan.
Tetapi hal mendengarkan terutama bagi pendeta – pendeta tidaklah mudah. Sebagai pendeta, para pendeta merasa terpanggil untuk berkata – kata. Anggapan ini digarisbawahi oleh pekerjaan mereka. Mereka berkata – kata(berkhotbah) dalam ibadah – ibadah, mengajar katekisasi, berdoa, memimpin pertemuan jemaat, dan lain-lain.
Semuanya ini menyebabkan pendeta sulit sekali dapat berdiam diri dan mendengarkan oranglain. Hal ini bukan saja terjadi dengan pendeta-pendeta tetapi juga dengan pastor lain. Sulit berdiam diri dan mendengarkan oranglai, tetapi juga beranggapan bahwa mendengarkan itutidak begitu penting, terutama kalau orang yang harus ia dengarkan itu adalh seorang yang sederhana, yang tidak atau yang hanya sedikit saja memperoleh pendidikan sekolah.
3)      . Mengakseptasi
Salah satu syarat yang paling penting dalam percakapan pastoral ialah mengakseptasi atau partnerpercakapan sebagaimana adanya. Artinya: tanpa syarat, kalau ia seorang pemabuk, kita harus menerimanya sebagai seorang pemabuk. Mengakseptasi tidak sama dengan menyetujui perbuatan atau hidupnya. Mengakseptasi juga tidak sama dengan menolak. Mengakseptasi ialah sikap yang tepat. Mengakseptasi tidak mempersalahkan atau menghukumnya, tetapi memahami dan karena itu menerimanya.
4)      . Memberikan kebebasan
Salah satu hal yang biasanya tidak mendapatkan perhatian dalam percakapan pastoral ialah pemberian kebebasan kepada orang yang digembalakan. pastor hanya mengenal bentuk percakapan yang menolon tanpa memberikan nilai positif terhadap pemberian kebebasan. Tugas seorag pastor ialah membantu orang yang ia gembalakan supaya orang tersebut dapat melihat masalahnya dengan terang dan dapat memecahkan sendiri persoalannya, karena itu seorang pastor harus “memberikan kebebasan” atau memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada orang yang digembalakan supaya ia dapat mengungkapkan segala sesuatu yang ia mau ungkapkan, baik dengan perkataan (yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan) maupun dengan perbuatan atau sikap. Kesempatan itu harus diberikan untuk menyatakan pikiran dan peranan-peranan atau emosi-emosinya kepada pastor. Dan kesempatan itu harus diberikan seluas-luasnya. Ia tidak boleh dihalang-halangi. Ia bebas menyatakan sikapnya:bukan hanya sikapnya yang simpatik tetapi juga sikapnya yang kasar dan agresif. Dan semua perasaan atau emosinya: bukan hanya perasaan atau emosinya yang baik, tetapi juga perasaan atau emosinya yang negatif dan yang tidak menyenangkan. Kebebasan yang demikian membutuhkan kesabaran yang luar biasa dari pihak pastor. Namun  kebebasan yang dimaksudkan disini bukanlah kebebasan yang mutlak atau kebebasan yang tidak terbatas, kebebasan ini adalah kebebasan yang bertanggungjawab.  







DAFTAR PUSTAKA

Abineno, J.L.Ch, Percakapan Pastoral dalam Praktik, BPK GM, Jakarta, 2005  
Abineno, J.L.Ch, Pelayanan Pastoral kepada Orang berduka, BPK GM, Jakarta,2004
Bons – Storm M, Apakah penggembalaan itu, BPK GM, Jakarta,2008





Tidak ada komentar:

Posting Komentar